Aku memang lebih mengharapkan datangnya Kematian ketimbang mausia-manusia disekitarku, namun ini bukan tentang menantang apalagi meremehkan.
Aku tak akan berlagak dengan menyatakan bahwa proses dari hidup dan mati itu ibarat sekadar bertukar posisi dari satu kereta ke kereta lainnya.
Aku paham betul bahwa kematian adalah akhir dari satu proses kehidupan. Akhir dari semua petualang ini. Pengakhiran dari yang paling akhir.
Jika nafas ku berhenti secara alami maka dalam waktu kurang dari 10 menit kesadaran-pun memudar perlahan-lahan semua kenangan baik dan buruk pada akhirnya akan turut sirna jua.
Begitu saja, tidak ada rasa lelah, ambisi atau apapun karena semua memang telah dinyatakan berhenti. Tidak perlu lagi berusaha menyenangkan orang lain, menyakiti atau-pun tersakiti. Tidak perlu lagi berjuang demi seseorang atau sesuatu dan nilai apapun.
Berhenti yang berhenti dan selamanya.
Kemudian terbersit semacam kerisauan, tentang apa-apa yang telah dipersiapkan, tentang apa-apa yang telah dijadikan bekal, cukup ataukah tidak cukup? Siapa yang kelak akan membicarakan ku? Siapa yang kelak akan mengenang ku? Dengan kapasitas sebagai apa dan dalam pertimbangan yang bagaimana nama ku kelak akan kembali disebut?
Bukankah itu-pun sudah tidak menjadi kepentingan ku? Aku hanya sang Pejalan yang terus melangkah hingga berhenti pada titik akhir yang ditentukan oleh garis waktu.
Tentang kenangan akan aku, biarlah disimpulkan oleh mereka yang masih hidup. Apapun hasilnya aku tak perlu tahu atau tentu saja tak bisa tahu.
Setelah mati, aku tentu saja berharap untuk benar-benar berhenti. Paling tidak berhenti untuk merasa risau.
0 comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.