Malam tak sempat menyodorkan mimpi, aku terjaga sampai pagi yang masih mentah, pada gelap yang masih samar merajai haluan.
Kelana jiwa ku masih melayang, jauh dari sangkar alam sadarku bersandar.
Air
runtuh dari langit dan pecah ditanah, amis tanah yang baru pertama
kali dicumbui hujan itu mengembang diudara, menari dalam penciuman ku
yang lelah.
Aku menyingkap jendela yang berenda putih,
angin bertiup sedikit lebih resah, mengeleparkan dedaunan sedikit
mendesah, menyuapi dingin di dinding warasku yang rusuh.
Kembali
melompat dan mendiami ingatan ku akan sebuah kisah di ujung senja sore
tadi, pada jingga yang terpahat sempurna dipundak langit barat, pada
hentakan waktu yang begitu singkat.
Debur ombak mendesir
pelan, menjilati bibir pantai yang terpagari bebatuan, ku teguk kopi
yang berangsur dingin. Namun tak jauh dari tempat ku menyandarkan penat,
mataku tak sengaja berpapasan dengan sosok yang pernah lekat dibenak
ku.
Ragu sempat mengayun batinku, namun akhirnya ku beranikan diri mendekatinya yang sedang menatap lepas ketengah laut.
Ku tangkap dengan jelas keterkejutannya melihat kehadiranku disampingnya.
Aku
menemukan sebuah senyum yang merekah tak sempurna, sepasang mata yang
yang tak lagi berbinar ceria, raut yang nyaris melukis derita dengan
jelas, dia terlihat menua lebih dini dari usianya. Sebegitu beratkah
jalan hidupmu kini? Gumamku resah.
Tujuh tahun tak
berjumpa dengannya, sepanjang waktu itu juga rindu bergemuruh dijantung
ini, namun dalam kurun waktu itu, aku tak pernah lagi merentas harap
setinggi langit, karena setelah ku tahu bagaimana sakitnya aku
terjatuh. Maka aku hanya berani merangkak, dan mulai belajar berjalan
namun aku takut berlari dan jatuh kembali.
Memang tak
selayaknya aku menghakiminya sebagai tombak yang menohok hatiku atas
luka itu, karena ku tahu dengan pasti, diapun hanyalah tumbal dari
suatu ketidak-adilan, diapun merintih dan menangis seperti aku juga,
namun dia dan aku terlampau kerdil kala itu, taring kami sama-sama
tumpul, nyali kami juga terlalu ciut, dan kami menyerahkan kebahagian
kami pada titah kasta yang tak bisa diterjang dengan kutulusan cinta.
Ketika mekar senyum kita tak lagi manis ..
Itu bukan salah mu..
Ketika tutur kata kita tak lagi lembut..
Itu juga bukan salah ku..
Ketika sentuhan hati kita tak lagi hangat..
Itu bukan salah mu..
Ketika tatapan mata kita tak lagi sejuk..
Itu juga bukan salah ku..
Ketika deru nafas cinta kita tak lagi sama..
Itu bukan salah mu. .
Ketika debaran rindu kita tak lagi mesra..
Itu juga bukan salah ku..
Aku dan Kamu hanyalah tumbal..
Dari sebuah Kasta yang tak sama..
*
Puisi ini dia tulis pada secarik kertas yang dia selipkan di saku tas
ku pada pertemuan terakhir kami sebelum cinta itu kandas.
Langit
diawal pagi masih menyisakan gerimis dan dingin, sayup ku dengar
dedaunan masih merisau gundah, aku meninggalkan namanya yang tertulis
di kaca jendela yang berembun, ku melangkah kearah rak buku yang
tertata bisu, ku raih sebuah buku usang bersampul biru langit yang dulu
diberikannya sebagai lahan untuk ku menggarap ide-ideku menulis, buku
yang merentas rangkaian kenangan dengan detail, namun sudah banyak
lembarnya yang ku robek paksa, karena terlampau sakit jika dijenguk
kembali. Namun disana masih tersimpan sepotong puisi yang pernah dia
kirimkan bersama undangan pernikahannya.
Sudah, padamkan saja semasih bara..
Jangan kau kipas menjadi api..
Dan jika ada yang harus terbakar..
Biarkan saja aku yang menjadi abu..
*
Sebait kata yang terlampau singkat namun tersirat penuh luka yang
mencabik hati, jiwaku tak henti meringis membaca kata-katanya.
Taman
dan bunga-bunga masih di dera tangisan langit yang merinai dingin,
mendekapkan beku direlung yang merintih pedih, dalam diam yang terus
melukis wajah muramnya. Air mataku tanpa dikomando meleleh mengingat
kembali sorot lelah dan luka dimatanya kemarin sore. Karena tak bisa ku
pungkiri lukanya telah menjadi laraku juga.
0 comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.